Borobudur,
siapa yang tak kenal nama ini? Sebuah kota kecamatan tempat candi terbesar dan
termegah di dunia yang ada di Magelang, Jawa Tengah ini dikunjungi oleh jutaan wisatawan
domestik maupun manca negara setiap tahunnya. Popularitas candi Budha ini
menjadikan candi Borobudur sebagai destinasi wisata terkemuka di pulau Jawa,
bahkan di Indonesia.
Namun
demikian, tingginya kunjungan wisatawan di Candi Borobudur tidak serta merta
memberikan dampak perekonomian yang baik bagi masyarakat di sekitarnya.
Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Nuryanto, warga desa Wanurejo sampai
beberapa tahun lalu. Alasannya sederhana, benda-benda yang dijual sebagai
cindera mata di pelataran candi mayoritas berasal dari luar daerah. Amat
sedikit yang diproduksi oleh warga lokal, katanya. “Sampai beberapa tahun lalu
kami lebih banyak tampil sebagai penonton,” katanya.
Apa
yang dirasakan oleh warga ini menginspirasi PT Taman Wisata Candi Borobudur,
Prambanan & Ratu Boko (PT TWC) sebagai pengelola candi Borobudur untuk
mengembangkan desa yang berada di sekitar candi. PT TWC dengan program CSR-nya
mempelopori pembangunan Balai Ekonomi Desa (Balkondes) di desa Borobudur pada
tahun 2016.
Pembangunan
Balkondes ini dilatarbelakangi pemikiran untuk membangun ekonomi berkelanjutan
bagi warga desa dalam mewujudkan sistem kepariwisataan terpadu (Interconecting Tourism System) yang
berbasis komunitas. Upaya ini diharapkan mampu menghidupkan potensi kawasan di
sekitar candi Borobudur dengan menciptakan wisata yang sifatnya live in dan village tour.
Inisiasi
PT TWC ini mendapatkan dukungan penuh dari Kementerian BUMN dengan melakukan
sinergi BUMN. Sinergi ini
diimplementasikan dengan memberikan sponsorship melalui program CSR dengan
skema “One Village One Balkondes”. Perusahaan-perusahaan
BUMN berbagi tugas membangun Balkondes di 20 desa yang terletak di kecamatan
Borobudur. Tidak hanya itu mereka juga membangun 10 homestay serta workshop di
tiap desa sebagai etalase produk-produk unggulan warga.
Konsep
praktis dari pembangunan Balkondes tersebut memuat dua hal. Pertama, balai yang
menjadi sentral pelayanan dasar pariwisata yakni kuliner dan hospitality. Wisatawan yang hadir di
Borobudur diarahkan untuk mengunjungi balai yang menyajikan atraksi berbasis
alam dan budaya lokal. Layanan kuliner dan atraksi wisata ini dilakukan oleh
warga setempat sehingga dapat meningkatkan perekonomian warga.
Kedua,
homestay yang memberikan layanan
penginapan membaur dengan warga. Wisatawan yang tinggal bersama penduduk akan
memberikan pengalaman baru bagi mereka. Selain itu wisatawan bisa melihat,
mengamati, dan mengalami langsung kehidupan, budaya, serta kearifan lokal yang
ada dalam masyarakat. Namun demikian, homestay
tetap dibangun dengan standar perspektif global yakni standar minimal pelayanan
internasional.
Untuk
menghubungkan Balkondes yang tersebar di 20 desa tersebut, tersedia beragam
moda transportasi misalnya andong/dokar, mobil antik, kereta mini, becak, serta ojek. Selain itu masyarakat juga
menyediakan persewaan sepeda atau sepeda motor. Hal ini tentu saja membuka
lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar.
Belum
lagi untuk memenuhi kebutuhan kuliner dan cinderamata bagi wisatawan,
kreativitas warga pun semakin terasah dan meningkat dari waktu ke waktu.
Aktivitas tersebut tentu berdampak pula bagi peningkatan kesejahteraan mereka.
Begitu pula dengan para pegiat kesenian daerah, mereka mendapatkan panggung
yang memadai untuk menampilkan kreasinya.
Yang
lebih unik, Balkondes di setiap desa mempunyai kekhasan yang berbeda-beda
sehingga para wisatawan yang berkunjung akan memperoleh pengalaman beragam.
Misalnya, Balkondes desa Bigaran yang mengusung tema “Nafas seni dan tradisi
dalam balutan asri desa”, Balkondes desa Karangrejo dengan sajian kuliner
organik, Balkondes desa Bumiharjo yang menyajikan permainan anak-anak
tradisional (dolanan) Nusantara dan sebagainya.
Kehadiran
Balkondes di kecamatan Borobudur telah menginspirasi warga untuk terus
berkreasi tidak hanya di sektor pariwisata dan budaya, tetapi juga pertanian.
Wafda, salah seorang pengelola Balkondes desa Majaksingi menuturkan bahwa salah
satu produk unggulan balkondesnya adalah kedai kopi. Nah, kopi yang diseduh di
kedai adalah hasil panen dari kebun warga. “Kami menolak ketika warga desa lain
menawarkan kopi mereka. Kami ingin kopi Majaksingi dikenal oleh para wisatawan,
dinikmati di sini dan dijadikan oleh-oleh saat pulang,” katanya.
Balkondes
telah menjadi model baru pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas dalam
rangka peningkatan ekonomi warga kecamatan Borobudur. Keterpaduan sistem
kepariwisataan dengan penggarapan potensi masyarakat sekitar destinasi wisata
di tempat tersebut diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
berkelanjutan.