Ada tiga alasan yang disampaikan oleh
sang ustadz :
Pertama, terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (multi akad) yang
dilarang syariah, yaitu akad gadai (atau akad qardh) dan akad ijarah
(biaya simpan).
Kedua, terjadi riba walaupun disebut dengan istilah "biaya
simpan" atas barang gadai dalam akad Qardh
(utang) antara Pegadaian Syariah dengan nasabah.
Ketiga, terjadi kekeliruan pembebanan biaya simpan. Dalam kasus ini
dikarenakan pihak murtahin (Pegadaian
Syariah) yang berkepentingan terhadap barang gadai sebagai jaminan atas utang
yang diberikannya, maka seharusnya biaya simpan menjadi kewajiban murtahin (Pegadaian Syariah), bukan
kewajiban rahin (nasabah).
Sebagai seorang muslim yang dikaruniai akal sehat dan nurani dari Allah
SWT, saya berkewajiban memanfaatkan karunia tersebut secara optimal dengan
memberikan tanggapan. Mohon maklum saya awam, bukan seorang ustadz apalagi
ulama. Jadi mohon maaf sekiranya tanggapan saya tidak se-syar’i dan seilmiah
beliau.
Pertama, penggabungan dua akad dalam satu akad pada transaksi gadai syariah
menurut hemat saya tidak menimbulkan madharat.
Kedua akad tersebut menyepakati dua perkara yang sama sekali berbeda meskipun
mengikat pada satu objek yang sama.
Akad al Qardh yakni akad pinjaman
kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan uang pinjaman
yang diterimanya kepada Pegadaian Syariah pada waktu yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.
Dan akad kedua adalah akad Ijarah
yakni pembayaran upah (ujrah/fee)
karena nasabah memperoleh jasa dari Pegadaian Syariah yang telah melakukan
pekerjaan tertentu dalam hal ini menyimpan dan memelihara barang milik nasabah.
Penggabungan akad yang dilarang, menurut pemahaman saya adalah yang
menimbulkan madharat (keburukan atau
masalah) di kemudian hari. Misalnya satu barang menjadi jaminan bagi dua
pinjaman yang berbeda misalnya BPKB dijaminkan di Pegadaian Syariah, sedangkan
mobilnya dijaminkan kepada pihak lain. Yang demikian berpotensi menimbulkan
sengketa di kemudian hari.
Kedua, biaya yang dibayarkan oleh nasabah adalah biaya simpan (ujrah/fee) karena Pegadaian Syariah
telah menyimpan dan merawat barang jaminan yang dititipkan nasabah. Pegadaian
Syariah bertanggung jawab (amanah) agar barang tersebut tidak mengalami
kehilangan atau kerusakan.
Untuk mewujudkan keamanan dan keutuhan barang yang dititipkan, Pegadaian
Syariah menyiapkan tempat yang aman, sarana dan prasarana yang kuat, sumber
daya insani yang profesional, serta upaya lain yang mengeluarkan biaya.
Jadi, biaya simpan (ujrah/fee) bukan
bunga (riba) atas uang pinjaman yang
diberikan, melainkan kompensasi atas jasa yang telah dilakukan oleh Pegadaian
Syariah dalam menyimpan dan memelihara barang jaminan yang dititipkan.
Ketiga, atas argumentasi bahwa pihak murtahin
(Pegadaian Syariah) yang berkepentingan terhadap barang gadai sebagai jaminan
atas utang yang diberikannya, maka seharusnya biaya simpan menjadi kewajiban murtahin (Pegadaian Syariah), bukan
kewajiban rahin (nasabah).
Menurut hemat saya ini argumentasi yang terbalik (maaf, keblinger). Bagaimana tidak, sebuah
lembaga yang sudah berbaik hati memberikan pinjaman tanpa bunga, tetapi justru
menanggung biaya yang dikeluarkan akibat kerja kerasnya memelihara dan
menyimpan barang yang dititipkan kepadanya.
Kalau tidak boleh memungut biaya dari nasabah yang memperoleh manfaat atas
barang berharga miliknya, bagaimana Pegadaian Syariah membayar biaya yang
dikeluarkan?
Islam dalam Pemahaman Saya
Islam (salam) dalam pemahaman saya adalah agama rahmatan lil’alamiin. Ia menjadi pembawa keselamatan,
kesejahteraan, kebaikan, dan keberkahan bagi semesta alam. Islam adalah solusi
bagi setiap permasalahan manusia. Bukan sarana untuk menakut-nakuti, mengancam,
atau menebarkan kesedihan. Islam membawa kabar gembira bagi seluruh umat
manusia.
Allah SWT berfirman : “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali Imron
: 104)
Kita diperintahkan untuk menyeru, mengajarkan, melakukan
kebajikan terlebih dahulu baru kemudian mencegah atau melarang pada
kemungkaran. Sebagaimana Rosulullah Muhammad SAW mengajarkan shalat terlebih
dulu sebelum mengharamkan minuman keras (khamr).
Akan lebih bijak apabila kita mempersiapkan terlebih dahulu lembaga gadai yang benar-benar syar’i, sebelum mengharamkan
praktek Pegadaian Syariah. Analoginya persiapkan dulu rumah tinggal yang layak
sebelum menggusur pemukiman kumuh.
Manusia diciptakan Allah SWT menjadi khalifah yang pandai
memberi solusi dan manfaat. Karenanya tidak mengherankan jika Rosul bersabda
bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
Allah SWT juga berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59)
Majelis Ulama Indonesia dalam hal ini Dewan Syariah Nasional
merupakan lembaga yang mengemban amanah dan dijadikan rujukan pemerintah untuk
mengatur dan mengawasi Lembaga Keuangan Syariah termasuk Pegadaian Syariah.
Pegadaian Syariah sebagai bagian dari Badan Usaha Milik Negara tunduk dan patuh
terhadap fatwa yang dikeluarkan MUI.
Setiap produk dan layanan yang dikeluarkan oleh Pegadaian
Syariah selalu diciptakan melalui kajian kajian yang mendalam oleh para
cendikiawan muslim yang ditunjuk sebagai Dewan Pengawas Syariah. Oleh karena
itu jika produk-produk tersebut melanggar ketentuan syar’i tentu tidak akan
disampaikan kepada umat, atau jika telanjur tentu akan segera ditarik dari
masyarakat.
Dalam beberapa diskusi yang saya lakukan dengan pihak-pihak
yang tidak setuju dengan bisnis Pegadaian Syariah, mereka selalu berlindung di
balik pernyataan: “Ulama yang tergabung
dalam MUI juga manusia biasa yang bisa salah, jadi fatwa yang dikeluarkan pun
bisa keliru”.
Tetapi rasanya juga tidak adil apabila ustadz atau ulama yang
berada di luar MUI merasa menjadi makhluk yang paling benar dan paling berhak
menghakimi manusia yang lain.
Wallahu’alam bishawab.
Basuki Tri Andayani
Warga Negara Indonesia, makhluk yang lemah, dan pernah
bertugas di Kantor Cabang Pegadaian Syariah di Kemang Selatan dan Botanical Junction,
Jakarta, Indonesia.