Senin, 08 November 2010

KEPEMIMPINAN

Soerjono Soekanto (1982) dalam Sosiologi Suatu Pengantar mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (pemimpin/leader) untuk memengaruhi orang lain (yang dipimpin/pengikut) sehingga orang tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Sedangkan Pace dan Faules (1993) mencatat bahwa tujuan kepemimpinan di sisi lain adalah membantu orang untuk menegakkan kembali, mempertahankan dan meningkatkan motivasi mereka. Jadi pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Pemimpin bertindak dengan cara-cara yang memperlancar produktivitas, moral tinggi, respon yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran, dan kesinambungan dalam organisasi.
Kepemimpinan diwujudkan melalui gaya kerja (operating style) atau cara bekerja sama dengan orang lain yang konsisten. Melalui apa yang dikatakannya (bahasa) dan apa yang dilakukan (tindakan), seseorang membantu orang lainnya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Cara seseorang berbicara dan bersikap kepada orang lainnya membentuk gaya kerja. Konsep gaya kerja menunjukkan sebuah kombinasi antara bahasa dan tindakan.
Pola bahasa dan tindakan yang dilakukan dalam gaya kerja tampak dalam beberapa pendekatan yang meliputi :
1. Mengendalikan atau mengarahkan orang lain,
2. Memberikan tantangan atau rangsangan kepada orang lain,
3. Menjelaskan atau memberi instruksi pada orang lain,
4. Mendorong atau mendukung orang lain,
5. Memohon atau membujuk orang lain,
6. Melibatkan atau memberdayakan orang lain, dan
7. Memberi ganjaran atau memperkuat orang lain.
Beberapa Asumsi Mengenai Manusia yang Mendasari Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan sesorang terbentuk berdasarkan pada beberapa asumsi mengenai manusia dan apa yang memotivasi mereka. McGregor (1967) menentukan dua perangkat asumsi atau pendapat bipolar yang cenderung dipakai oleh para pemimpin mengenai orang lain. Kedua asumsi ini disebut teori X dan teori Y. Mungkin kebanyakan pemimpin tidak berpegang penuh pada salah satu teori McGregor tersebut tetapi pencirian yang dilakukan McGregor membantu kita menggambarkan sikap mental suatu tipe ideal sehingga kita dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai pemikiran seseorang yang mungkin amat cenderung mempunyai suatu arah tertentu. Asumsi McGregor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Teori X, teori ini diturunkan dari pendapat mengenai manusia yang dipandang sebagi mesin yang amat memerlukan pengendalian dari luar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa :
1. Kebanyakan orang berpendapat bahwa pekerjaan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan berusaha menghindarinya,
2. Kebanyakan oranglebih suka diperintah dan seringkali harus dipaksa untuk melakukan pekerjaan mereka,
3. Kebanyakan orang tidak ambisius, tidak ingin maju, dan tidak menginginkan tanggung jawab,
4. Kebanyakan orang dimotivasi terutama oleh keinginan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan akan rasa aman.
5. Kebanyakan orang harus dikendalikan dengan ketat dan tidak mampu menyelesaikan masalah dalam organisasi.
Dalam perspektif teori X manusia dipandang sebagai alat produksi yang dimotovasi oleh ketakutan akan hukuman atau oleh kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Manajer cenderung mengawasi mereka dengan ketat, membuat dan menjalankan aturan dengan keras, dan menggunakan ancaman sanksi sebagai alat memotivasi mereka.
Teori Y, teori ini memandang manusia sebagai organisme biologis yang timbuh, berkembang dan mampu mengendalikan dirinya sendiri. Asumsi teori Y adalah sebagai berikut :
1. Kebanyakan orang berpendapat bahwa kerja adalah sesuatu yang alamiah seperti bermain. Bila pekerjaan tidak menyenangkan, mungkin karena mereka melakukan cara yang berbeda dalam organisasi.
2. Kebanyakan orang merasa bahwa pengendalian diri amat diperlukan supaya pekerjaan dapat dilakukan dengan baik.
3. Kebanyakan orang dimotivasi terutama oleh keinginan mereka untuk diterima oleh lingkungan, mendapatkan pengakuan, dan merasa berprestasi, seperti juga kebutuhan fisiologis dan rasa aman.
4. Kebanyakan orang ingin menerima dan bahkan menginginkan suatu tanggung jawab jika mereka memperoleh bimbingan, pengelolaan, dan kepemimpinan yang tepat.
Pemimpin yang mendasari tindakannya pada teori Y beranggapan bahwa pegawai mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, tugas mereka adalah mengatur dan mengelola sedemikian rupa sehingga baik pegawai maupun organisasi dapat memenuhi kebutuhannya sehingga tujuan perorangan dan organisasi berjalan selaras. Kenyataannya dalam konteks organisasi keduanya tidak dapat tercapai karena beberapa tujuan pribadi dan tujuan organisasi mungkin saja bertentangan. Oleh karenanya diperlukan keterlibatan manajer dan pegawai untuk mencapai tujuan organisasi, mendorong pegawai untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, dan mencoba mewujudkan peningkatan.

Model Gaya Kepemimpinan
Penelitian Kepemimpinan Negara Bagian Ohio
Bass (1960) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa seorang pemimpin dinilai baik apabila mitikberatkan pada pemenuhan janji, penghargaan dan dukungan sebagai teknik motivasi dan bertindak dengan cara hangat membantu, menunjukkan perhatian dan penghargaan pada bawahan. Pemimpin yang dinilai buruk memberi ancaman, merendahkan, berperilaku tanpa pertimbangan, dan menetapkan serta menyusun peranannya dan peranan bawahan untuk mencapai tujuan.



Dari sekian banyak model teori dan analisis, di bawah ini akan disampaikan enam sistem populer untuk menjelaskan gaya kepemimpinan.
1. Teori Kisi Kepemimpinan (Blake dan Mouton, 1964)
Teori ini awalnya disebut sebagai kisi manajerial (managerial grid), kemudian sejak tahun 1991 disebut sebagai kisi kepemimpinan (leadership grid). Kisi ini berasal dari hal-hal yang mendasari perhatian manajer; perhatiannya pada tugas atau pada hal-hal yang direncanakan untuk diselesaikan oleh organisasi, dan perhatian pada orang-orang dan unsur-unsur organisasi yang memengaruhi mereka. Kisi ini menggambarkan bagaimana perhatian pemimpin pada tugas dan manusia berkelindan sehingga menciptakan gaya pengelolaan dan kepemimpinan.
a. Gaya Pengalah (impoverished style) yang ditandai oleh kurangnya perhatian terhadap produksi, ia cenderung menerima keputusan orang lain, serta menghindari sikap memihak.
b. Gaya Pemimpin Pertengahan (middle of the road style), ditandai dengan perhatian yang seimbang antara terhadap produksi dan manusia. Bila terdapat perbedaan sikap dan gagasan ia berusaha untuk jujur tapi tegas dan mencari pemecahan yang tidak memihak. Ia berusaha mempertahankan agar keadaan tetap baik dan stabil.
c. Gaya Tim (team style), gaya ini memberikan perhatian yang tinggi terhadap tugas dan manusia. Ia menghargai keputusan yang logis dan kreatif sebagai hasil dari pengertian dan kesepakatan anggota organisasi.
d. Gaya Santai (country club style), gaya ini ditandai oleh rendahnya perhatian terhadap tugas tetapi tinggi terhadap manusia. Ia lebih suka mendengar pendapat, sikap, dan gagasan dari orang lain daripada memaksakan kehendaknya. Ia lebih bersifat menolong daripada memimpin.
e. Gaya Kerja (task style), gaya ini ditandai dengan perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan tugas tetapi kurang memperhatikan manusianya. Pemimpin seperti ini sangat menjunjung tinggi keputusan yang telah dibuat dengan perhatian utama adalah pelaksanaan dan penyelesaian kerja secara efisien.

2. Teori 3-D (Reddin, 1967)
Reddin membuat teori berdasarkan pada kisi tugas manusia yang dikemukakan Blake dan Mouton dengan menambahkan dimensi ketiga yaitu efektivitas. Ketiga dimensi tersebut didefinisikan sebagai berikut :
a. Orientasi Kerja, yakni tingkat pengarahan manajer atas usaha bawahan untuk mencapai tujuan.
b. Orientasi Hubungan, tingkat hubungan pribadi antara manajer dengan bawahan ditandai dengan adanya sikap saling memercayai, menghormati gagasan, dan memperhatikan perasaan bawahan.
c. Keefektifan, tingkat persyaratan produksi yang dicapai sesuai yang ditetapkan manajemen.
Kisi 3D menghasilkan delapan gaya kepemimpinan yang terbagi dalam dua jenis gaya utama yakni lebih efektif dan kurang efektif. Manfaat gaya lebih efektif kurang lebih sama tergantung pada situasi yang dihadapi. Ada saatnya seorang manajer menggunakan keempat gaya secara bersamaan, tetapi di saat menjalankan tugas lain hanya menggunakan satu atau dua gaya secara konsisten.

3. Teori Kepemimpinan Situasional (Hersey dan Blanchard, 1974, 1977)
Konsep kepemimpinan ini dikembangkan dari penelitian di Ohio State University (Stogdill & Coons, 1957), penelitian ini menunjukkan banyak kemiripan dengan teori yang dikemukakan Blake dan Mouton yaitu ada dua dimensi gaya kepemimpinan yakni struktur pertimbangan dan pengawalan, kisi yang dihasilkan juga serupa. Hersey dan Blanchard memperkenalkan kematangan sebagai variabel ketiga. Mereka menyebut bahwa perbedaan antara gaya efektif dan tidak efektif seringkali bukan hanya karena perilaku pemimpin yang sesungguhnya tetapi lebih pada masalah kecocokan antara perilaku dengan situasi yang dihadapi. Faktor yang menentukan efektivitas dijelaskan sebagai tingkat kesiapan anak buah yang meliputi kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab. Dari penelitian tersebut disimpulkan ada empat gaya kepemimpinan situasional yaitu;
a. Memberitahu (Telling). Tugas berat hubungan lemah; ditandai hubungan komunikasi satu arah, pemimpin menentukan peranan anak buah dan memberitahu apa, dimana, kapan, dan bagaimana cara melaksakan berbagi macam tugas.
b. Mempromosikan (Selling). Tugas berat hubungan kuat; ditandai hubungan komunikasi dua arah, meskipun semua pengaturan dilakukan pemimpin, ia menyediakan dukungan sosioemosional supaya anak buah turut bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan.
c. Partisipasi (Partcipate). Hubungan kuat tugas berat. Ditandai pemimpin dan anak buah sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan melalui komunikasi dua arah yang sebenarnya. Pemimpin lebih banyak memberikan kemudahan karena anak buah memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
d. Mewakilkan (Delegating). Hubungan lemah tugas ringan. Ditandai dengan pemimpin membiarkan anak buah bertanggung jawab atas keputusan mereka. Pemimpin mendelegasikan kewenangannya karena anak buah mempunyai tingkat kesiapan yang tinggi, bersedia dan mampu bertanggung jawab untuk mengatur perilaku mereka sendiri. Berlawanan dengan teori Blake dam Mouton dan Reddin, Hersey dan Blanchard gaya ini paling besar memberikan hasil terbaik karena didukung tingkat kesiapan anak buah.

4. Teori Empat Sistem (Likert, 1967)
Likert menemukan empat gaya kepemimpinan atau sistem manajerial yang berdasarkan pada suatu analisis atas delapan variabel yaitu kepemimpinan, motivasi, komunikasi, interaksi, pengambilan keputusan, penentuan tujuan, pengendalian, dan kinerja. Likert membagi gaya kepemimpinan dengan kriteria sebagai berikut:
a. Penguasa mutlak (exploitive authoritative), gaya ini berdasarkan pada asumsi teori X McGregor. Pemimpin memberikan bimbingan sepenuhnya dan pengawasan ketat pada pegawai dengan anggapan bahwa cara terbaik untuk memotivasi pegawai adalah dengan cara memberikan rasa takut, ancaman, dan hukuman. Interaksi atasan bawahan amat sedikit, semua keputusan berasal dari atas dan komunikasi ke bawah semata-mata berisi instruksi atau perintah.
b. Penguasa semi mutlak (benevolent authoritative), gaya ini pada dasarnya bersifat otoritarian tetapi mendorong komunikasi ke atas untuk ikut berpendapat maupun mengemukakan keluhan bawahan tetapi interaksi di antara tingkatan dalam organisasi dilakukan melalui jalur resmi. Komunikasi yang terjadi jarang bersifat bebas dan terus terang.
c. Penasihat (consultative), gaya ini melibatkan interaksi yang cukup sering pada tingkat pribadi sampai moderat antara atasan dan bawahan dalam organisasi. Informasi berjalan baik atas ke bawah maupun bawah ke atas dengan sedikit penekanan bahwa ide dan gagasan berasal dari atas. Manajer menaruh kepercayaan besar meskipun tidak mutlak dan adanya keyakinan pada pegawai.
d. Pengajakserta (participate), gaya ini amat sportif dengan tujuan agar organisasi berjalan baik dengan adanya partisipasi pegawai. Informasi berjalan ke segala arah dan pengendalian dilakukan di setiap tingkatan. Orang berkomunikasi secara bebas dan terbuka tanpa ada rasa takut terhadap hukuman. Secara umum sistem komunikasi formal dan informal identik dan menjamin integrasi tujuan pribadi dan tujuan organisasi yang sebenarnya.

5. Teori Kontinum (Tannenbaum dan Schmidt, 1957)
Analisisnya meneliti pengambilan keputusan sbg konsep utama dlm kontinum perilaku kepemimpinan. Tannenbaum dan Schmidt menyebutkan bahwa ciri pemimpin yang berhasil adalah tidak terlalu mengawasi secara ketat atau terlalu longgar. Pemimpin yang paling efektif adalah mereka yang mempunyai gaya yang konsisten sesuai dengan tuntutan situasi. Kontinum tersebut menunjukkan sifat kepemimpinan terhadap bawahan:
1. Manajer membuat keputusan dan mengumumkannya
2. Manajer membuat keputusan dan menawarkannya
3. Manajer mengemukakan keputusan dan memberi kesempatan untuk mempertanyakannya
4. Manajer mengemukakan keputusan sementara sehingga masih dapat diubah
5. Manajer menentukan beberapa batasan dan meminta bawahan untuk mengambil keputusan
6. Manajer mengizinkan bawahan mengambil keputusan.

6. Teori Kebergantungan (Fiedler, 1967)
Fiedler mengembangkan teori gaya kepemimpinan berdasarkan pada konsep kebergantungan. Efektivitas kepemimpinan bergantung pada hubungan-hubungan dalam gaya kepemimpinan dan situasi yang dihadapinya. Gaya kepemimpinan tergambar dalam variabel tugas dan hubungan. Jadi pemimpin ditinjau berdasarkan motivasi tugas (task motivated) atau motivasi hubungan (relationship motivated).
Karakteristik suatu situasi kepemimpinan terpenting adalah :
1. Relasi pemimpin-anggota, dianggap baik jika anggota menyukai, mempercayai, dan menghardai pemimpinnya. Hal ini dianggap sebagai satu-satunya kondisi terpenting bagi kepemimpinan yang efektif.
2. Struktur tugas, menyatakan sejauh mana cara-cara melakukan pekerjaan diterangkan secara terperinci tahap demi tahap. Makin terstruktur tugasnya makin besar pengaruh pemimpin atas tim tersebut.
3. Kekuasaan jabatan pemimpin, didefinisikan sebagai tingkat hukuman, penghargaan, kenaikan pangkat, disiplin, dan teguran dapat diberikan secara adil dan transparan bagi anggotanya. Pemimpin mempunyai kekuatan yang lebih besar bila ia mampu memberi penghargaan dan mampu menjatuhkan hukuman.

MOTIVASI

Motivasi merupakan isu penting dalam bidang komunikasi, manajemen, dan kepemimpinan. Mengapa orang bersedia mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan sesuatu, alasan-alasan di balik tindakan yang dilakukan itulah yang dinamakan motivasi. Kemauan orang berbeda-beda untuk mencurahkan energi dan antusiasme dalam bekerja.

Pemetaan Teori Motivasi
Istilah motivasi merujuk pada kondisi dasar yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan.

1. Teori Defisiensi Motivasi
Teori-teori tentang motivasi lazimnya merujuk pada kebutuhan sebagai kekuatan pendorong perilaku manusia. Kebutuhan adalah sesuatu yang penting dan tidak terhindarkan untuk memenuhi suatu kondisi. Istilah ini juga pada kekurangan seseorang terhadap sesuatu dan harus dipenuhi. Kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi? Beberapa pakar motivasi menjelaskan sebagai berikut :

1.1. Teori Hierarkhi (Maslow, 1943, 1954)
Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan manusia terdiri dari lima kategori yang berkembang secara hierarkhis. Masing-masing kebutuhan mempunyai pengaruh atas kebutuhan lainnya selama kebutuhan tersebut terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah fisiologis, keselamatan dan keamanan, rasa memiliki (sosial), penghargaan, dan aktualisasi diri.
Kebutuhan fisiologis berada pada urutan terbawah yang merupakan kebutuhan terkuat (prepotent) untuk dipenuhi. Akan sulit meskipun bukan berarti tidak mungkin memberikan perhatian pada keselamatan atau keamanan masa depan misalnya dengan asuransi ketika seseorang belum mampu mencukupi kebutuhan akan rasa lapar. Konsep prepotency bermakna bahwa sebagian kebutuhan yang kuat itu harus dipenuhi sebelum kebutuhan berikutnya menjadi pendorong yang kuat. Hanya kebutuhan yang tidak terpenuhi yang mendorong orang untuk bertindak dan mengarahkan perilaku mereka kepada suatu tujuan. Begitu kebutuhan fisiologis terpenuhi, orang akan mencari kepuasan dengan keselamatan dan keamanan, setelah ia merasa aman ia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan berikutnya.

1.2. Teori ERG (Alderfer, 1972)
Alderfer membagi kebutuhan dalam tiga kategori yaitu existence (E), relatedness (R), dan growth (G). Umumnya konsep ERG ini merupakan penghalusan dari hierarkhi kebutuhan Maslow, akan tetapi secara spesifik mempunyai dua aspek perbedaan. Pertama meskipun ide urutan kebutuhan serupa tetapi tidak terikat sistem hierarkhi, misalnya bila kebutuhan akan eksistensi tidak terpenuhi mungkin berpengaruh kuat tetapi kategori kebutuhan lainnya mungkin masih penting untuk mengarahkan perilaku mencapai tujuan. Kedua, meskipun suatu kebutuhan terpenuhi, kebutuhan tersebut dapat berlangsung terus sebagai pengaruh kuat dalam mengambil keputusan. Misalnya seseorang telah mendapatkan jabatan tertentu tetapi ia masih tetap menginginkan kenaikan gaji.

1.3. Teori Kesehatan-Motivator (Herzberg, 1966)
Herzberg mencoba menetukan faktor-faktor apa yang mempengaruhi motivasi dalam organisasi. Ia menemukan dua perangkat kegiatan yang memuaskan kebutuhan manusia yaitu :
a. Kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja disebut motivator, yang meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, promosi, pekerjaan itu sendiri, dan potensi bagi pertumbuhan pribadi. Bila faktor-faktor tersebut ditanggapi secara positif maka pegawai cenderung puas dan termotivasi, namun bila faktor-faktor tersebut tidak ada di tempat kerja mereka kurang termotivasi meskipun bukan berarti tidak puas dengan dengan pekerjaan mereka.
b. Kebutuhan yang berkaitan dengan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi disebut faktor pemeliharaan (maintenance) atau kesehatan (hygiene) yang meliputi gaji, pengawasan, keamanan kerja, kondisi kerja, administrasi, kebijakan organisasi, dan hubungan antarpribadi rekan kerja, atasan, dan bawahan di tempat kerja. Faktor ini berkaitan dengan lingkungan kerja atau konteks pekerjaan. Program-program untuk memotivasi dengan menggunakan sistem Herzberg disebut “motivasi melalui pekerjaan itu sendiri”. Bila faktor-faktor tersebut ditanggapi secara positif pegawai tidak mengalami kepuasan namun bila faktor tersebut tidak ada maka pegawai akan merasa tidak puas.
Motivator berkaitan dengan kepuasan kerja namun tidak dengan ketidakpuasan kerja, sedangkan faktor kesehatan berkaitan dengan ketidakpuasan kerja namun tidak dengan kepuasan kerja. Jadi untuk memelihara atau tetap memiliki pegawai manajer harus memusatkan perhatian pada faktor kesehatan, tetapi jika ingin membuat pegawai bekerja lebih keras maka harus memperhatikan faktor motivator.

2. Teori Harapan dan Motivasi
Vroom (1964) mengembangkan teori motivasi berdasarkan jenis-jenis pilihan yang dibuat seseorang untuk mencapai tujuan berdasarkan kebutuhan internalnya. Ada tiga asumsi pokok dari teori harapan (expectancy theory) ini;
a. Harapan hasil (outcome expectancy), suatu perilaku dengan cara tertentu akan mendapatkan hasil yang tertentu. Jadi orang mendefinisikan suatu hasil sebagai penilaian subjektif atas kemungkinan bahwa hasil tertentu akan muncul dari tindakan orang tersebut.
b. Valensi (valence), setiap hasil mempunyai nilai positif atau daya tarik bagi orang tertentu. Suatu hasil bisa bernilai bagi seseorang, tetapi bagi orang lain bisa dianggap tidak bernilai sehingga ia bisa mengambil pilihan yang berbeda. Valensi dapat pula diartikan sebagai nilai yang orang berikan kepada suatu hasil yang diharapkan.
c. Harapan usaha (effort expectancy), setiap hasil berkaitan dengan suatu persepsi mengenai seberapa sulit usaha yang dilakukan untuk mencapai hasil tersebut. Atau dengan kata lain, harapan usaha didefinisikan sebagai kemungkinan bahwa usaha seseorang akan menghasilkan pencapaian suatu tujuan tertentu.
Motivasi dijelaskan dengan mengkombinasikan ketiga prinsip ini. Seseorang akan memilih ketika ia melihat alternatif dan tingkat kinerja yang memiliki tingkat motivasional tertinggi yang berkaitan dengannya. Motivasi dalam teori harapan adalah keputusan untuk mencurahkan usaha.
Dalam menerapkan teori harapan Nadler dan Lawler (1976) menyarankan beberapa cara tertentu agar manajer dan organisasi dapat memberikan motivasi yang maksimal dari pegawai :
a. Pastikan bahwa hasil atau ganjaran yang diberikan mempunyai nilai bagi pegawai. Lebih mudah untuk menemukan apa yang orang inginkan daripada mengubah mereka untuk menginginkan apa yang manajer tawarkan. Manajer harus lebih terampil menganalisi kebutuhan daripada mengubah keinginan.
b. Definisikan secara cermat dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan terukur.
c. Pastikan bahwa hasil yang ditargetkan dapat dicapai oleh pegawai.
d. Kaitkan hasil yang diinginkan dengan tingkat kinerja yang diinginkan.
e. Pastikan bahwa ganjaran mempunyai nilai cukup besar untuk memotivasi perilaku yang penting.
f. Orang yang berkinerja tinggi harus menerima ganjaran lebih banyak dari yang berkinerja rendah.

3. Teori Persepsi tentang Motivasi
Teori persepsi (Pace, 1993) menjelaskan motivasi dalam arti bagaimana anggota organisasi menafsirkan lingkungan kerja mereka. Penelitian dan pengalaman hidup dalam organisasi menunjukkan bahwa vitalitas kerja seseorang didasarkan pada empat asumsi utama yaitu ;
a. Harapan, yakni seberapa jauh harapan pegawai dipenuhi oleh organisasi
b. Peluang, apa yang dipikirkan pegawai mengenai peluang mereka dalam organisasi
c. Pemenuhan, bagaimana pendapat pegawai mengenai seberapa banyak pemenuhan yang diperoleh dari pekerjaan dalam organisasi
d. Kinerja, bagaimana persepsi pegawai mengenai kinerja mereka dalam organisasi.