Reuni selalu menyisakan kisah
masa lalu yang terlalu sayang untuk dilupakan. Itu juga yang terjadi di acara
Reuni 27 tahun SMA Negeri Blabak (sekarang SMA Negeri I Muntilan). Pada acara
yang digelar di Omahe Mbah Kakung itu saya diminta menyampaikan sambutan selaku
tuan rumah.
Awalnya saya tidak tahu mesti
ngomong apa. Di acara yang sangat cair dengan kangen-kangenan di antara para
saudara ini saya khawatir sambutan saya tidak didengar. Masing-masing sibuk
ngobrol dengan saudaranya. Kebanyakan diawali dengan kata, Saudara ini siapa?
Maklum ada yang sejak lulus SMA 27 tahun lalu, baru bertemu untuk pertama
kalinya.
Kembali ke sambutan sebagai tuan
rumah, setelah sempat mikir sejenak saya tiba-tiiba teringat dengan kisah
sekeping uang logam 100 rupiah. Saat itu
uang saku saya rata-rata 300 rupiah sehari. Uang 200 rupiah untuk naik
angkot pulang-pergi, sisanya yang 100 rupiah buat jajan.
Untuk mendapatkan uang sebanyak
itu tidak mudah. Sebelum berangkat ke sekolah, bapak saya selalu bilang, “Lihat
ke kandang ayam, jika ayamnya bertelur ambil dan jual buat uang sakumu!”
Kalimat itu seperti mantera yang
harus saya dengar setiap pagi. Kalo kebetulan lagi musim ayam tak bertelur, tak
jarang pulang sekolah saya harus mencari kayu bakar untuk dijual ke tetangga.
Lumayan buat nambah uang jajan. Sesekali tetangga yang lain minta tolong saya
untuk membuatkan kandang ayam, itu kegiatan favorit saya waktu itu. Selain
disuguh makan enak, upahnya cukup menggiurkan di zamannya.
Yang ironis, sebagai aktivis
remaja masjid yang rutin memimpin pertemuan setiap malam Minggu, malam Kamisnya
saya harus ngider jualan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Judi tebak
angka dengan dalih sumbangan olah raga yang diselenggarakan oleh pemerintah
saat itu. Ironis memang tapi itulah hidup yang harus aku jalani.
Dengan uang 300 rupiah bisa
dibilang cukup, meskipun pas-pasan. Masalahnya biasanya muncul di hari Selasa,
karena ada pelajaran olah raga. Uang jajan 100 rupiah tidak cukup untuk membuat
badan kembali bertenaga. Akhirnya ongkos pulang pun dipakai buat jajan.
Beruntung saya punya sahabat
namanya MH Tahmrin. Hari itu dia tampil sebagai pahlawan yang
menyakitkan. Betapa tidak? Saat saya bilang, “Mrin, aku pinjam uang cepek buat
ongkos pulang!” dia selalu jawab, “Oke, tapi temani aku jalan-jalan
ke pasar Muntilan dulu ya...!”
Demi pulang naik angkot, aku
iyakan saja syarat itu. Akhirnya sepulang sekolah kami jalan putar-putar pasar,
tak lupa pula kami mampir ke bioskop Kartika atau Arjuna untuk lihat jadwal
”extra show”, pemutaran film di luar jadwal rutin dengan tarif 50% atau sekitar
250-300 rupiah.
Hari beranjak sore. Badan sudah
terasa capek. Perut mulai lapar. Akhirnya saya ajak Thamrin pulang. “Mrin,
pulang yuk!” pintaku. Thamrin pun menjawab, “Nanti dulu, nyawamu tergantung
aku. Kalau mau pulang jalan kaki, pulang saja sendiri!” Asem ki, karena saya
mau pinjam cepek buat naik angkot, terpaksa ku turuti kemana pahlawanku pergi.
Kisah si cepek muncul lagi saat
kuliah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) di kawasan Bintaro, Jakarta.
Saat itu saya belum akrab dengan bank. Maklum apa yang mau ditabung. Uang saku saat
SMA saja mesti nunggu si Blorok bertelur.
Uang sakuku 50 ribu sebulan
dikirim pakai wesel pos. Jika bapak mengirim tanggal 5, biasaya saya terima
tanggal 20 setiap bulannya. Untuk membiayai hidup saya sering pinjam sahabatku
Samsul Effendi. Uang sakunya relatif lancar karena ditransfer via bank.
“Sul, pinjami aku uang, weselku
belum sampai!” kataku dengan wajah iba. “Berapa, tapi keroki aku dulu ya. Lagi
masuk angin nih!” Lagi-lagi uang kepingan 100 rupiah begitu berarti untuk
menyambung hidup saya, buat ngerokin kreditor saya. Karib SMA sekaligus teman
kuliah dan rekan kerja saya saat ini.
Apapun ceritanya reuni SMA tahun ini telah berjalan sukses, meski sederhana tapi akrab dan
menyenangkan. Semoga persahabatan ini langgeng sepanjang usia.
(Omahe Mbah Kakung Kamis, 29 Juni 2017)