Jumat, 30 Juni 2017

KISAH SEKEPING LOGAM PERSAHABATAN

Reuni selalu menyisakan kisah masa lalu yang terlalu sayang untuk dilupakan. Itu juga yang terjadi di acara Reuni 27 tahun SMA Negeri Blabak (sekarang SMA Negeri I Muntilan). Pada acara yang digelar di Omahe Mbah Kakung itu saya diminta menyampaikan sambutan selaku tuan rumah.

Awalnya saya tidak tahu mesti ngomong apa. Di acara yang sangat cair dengan kangen-kangenan di antara para saudara ini saya khawatir sambutan saya tidak didengar. Masing-masing sibuk ngobrol dengan saudaranya. Kebanyakan diawali dengan kata, Saudara ini siapa? Maklum ada yang sejak lulus SMA 27 tahun lalu, baru bertemu untuk pertama kalinya.

Kembali ke sambutan sebagai tuan rumah, setelah sempat mikir sejenak saya tiba-tiiba teringat dengan kisah sekeping uang logam 100 rupiah. Saat itu  uang saku saya rata-rata 300 rupiah sehari. Uang 200 rupiah untuk naik angkot pulang-pergi, sisanya yang 100 rupiah buat jajan.

Untuk mendapatkan uang sebanyak itu tidak mudah. Sebelum berangkat ke sekolah, bapak saya selalu bilang, “Lihat ke kandang ayam, jika ayamnya bertelur ambil dan jual buat uang sakumu!”

Kalimat itu seperti mantera yang harus saya dengar setiap pagi. Kalo kebetulan lagi musim ayam tak bertelur, tak jarang pulang sekolah saya harus mencari kayu bakar untuk dijual ke tetangga. Lumayan buat nambah uang jajan. Sesekali tetangga yang lain minta tolong saya untuk membuatkan kandang ayam, itu kegiatan favorit saya waktu itu. Selain disuguh makan enak, upahnya cukup menggiurkan di zamannya.

Yang ironis, sebagai aktivis remaja masjid yang rutin memimpin pertemuan setiap malam Minggu, malam Kamisnya saya harus ngider jualan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Judi tebak angka dengan dalih sumbangan olah raga yang diselenggarakan oleh pemerintah saat itu. Ironis memang tapi itulah hidup yang harus aku jalani.

Dengan uang 300 rupiah bisa dibilang cukup, meskipun pas-pasan. Masalahnya biasanya muncul di hari Selasa, karena ada pelajaran olah raga. Uang jajan 100 rupiah tidak cukup untuk membuat badan kembali bertenaga. Akhirnya ongkos pulang pun dipakai buat jajan.

Beruntung saya punya sahabat namanya MH Tahmrin. Hari itu dia tampil sebagai pahlawan yang menyakitkan. Betapa tidak? Saat saya bilang, “Mrin, aku pinjam uang cepek buat ongkos pulang!” dia selalu jawab, “Oke, tapi temani aku jalan-jalan ke pasar Muntilan dulu ya...!”

Demi pulang naik angkot, aku iyakan saja syarat itu. Akhirnya sepulang sekolah kami jalan putar-putar pasar, tak lupa pula kami mampir ke bioskop Kartika atau Arjuna untuk lihat jadwal ”extra show”, pemutaran film di luar jadwal rutin dengan tarif 50% atau sekitar 250-300 rupiah.

Hari beranjak sore. Badan sudah terasa capek. Perut mulai lapar. Akhirnya saya ajak Thamrin pulang. “Mrin, pulang yuk!” pintaku. Thamrin pun menjawab, “Nanti dulu, nyawamu tergantung aku. Kalau mau pulang jalan kaki, pulang saja sendiri!” Asem ki, karena saya mau pinjam cepek buat naik angkot, terpaksa ku turuti kemana pahlawanku pergi.

Kisah si cepek muncul lagi saat kuliah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) di kawasan Bintaro, Jakarta. Saat itu saya belum akrab dengan bank. Maklum apa yang mau ditabung. Uang saku saat SMA saja mesti nunggu si Blorok bertelur.

Uang sakuku 50 ribu sebulan dikirim pakai wesel pos. Jika bapak mengirim tanggal 5, biasaya saya terima tanggal 20 setiap bulannya. Untuk membiayai hidup saya sering pinjam sahabatku Samsul Effendi. Uang sakunya relatif lancar karena ditransfer via bank.

“Sul, pinjami aku uang, weselku belum sampai!” kataku dengan wajah iba. “Berapa, tapi keroki aku dulu ya. Lagi masuk angin nih!” Lagi-lagi uang kepingan 100 rupiah begitu berarti untuk menyambung hidup saya, buat ngerokin kreditor saya. Karib SMA sekaligus teman kuliah dan rekan kerja saya saat ini.

Apapun ceritanya reuni SMA  tahun ini telah berjalan sukses, meski sederhana tapi akrab dan menyenangkan. Semoga persahabatan ini langgeng sepanjang usia.


(Omahe Mbah Kakung Kamis, 29 Juni 2017)