Rabu, 20 Desember 2017

TRIK MENGHADAPI TEROR WARTAWAN ABAL-ABAL



Suatu siang, dua orang pria dengan wajah yang kurang bersahabat datang menemui saya. Tangannya menenteng sebuah tabloid yang namanya tidak begitu saya kenal. Maklum saja, tabloid itu tak pernah saya lihat di lapak koran gang Sentiong, tempat saya biasa membeli koran atau majalah.
Setelah basa-basi sebentar, salah satu dari mereka menunjukkan sebuah halaman di tabloidnya. Judul yang terpampang sangat menantang. “Pegadaian Gelapkan Uang Nasabah 400 Milyar!”. Tensi darah mulai naik.
Yang lebih menggoda lagi, di akhir artikel tabloid itu memuat teks dalam kotak “Stop Press, Jangan Menggadaikan di Pegadaian, Barang Ditukar!” Kepala bagian belakang mulai tegang. Sadar reaksi kimia dalam tubuh mulai tidak stabil, ku raih gelas berisi air putih di sudut meja.
Sejurus kemudian ku dengar salah satunya berkata, “Kami datang untuk mengajak kerja sama. Agar di edisi depan artikel di stop press tidak kami naikkan,” katanya.
“Lalu kerja sama semacam apa yang Anda tawarkan?” saya mencoba tetap tenang.
“Silakan pasang iklan di tabloid saya, maka semua dapat dikendalikan,” katanya. “Jika tidak, terpaksa artikel kedua muncul di edisi berikutnya”.
Wah, ini tindak percobaan pemerasan. Tentunya tidak dapat dibiarkan. Tetapi saya tidak buru-buru melaporkan ke polisi. Khawatir urusan jadi tambah rumit dan berkepanjangan.
Singkat cerita, akhirnya saya minta mereka untuk mengajukan proposal iklan, tentunya dengan menyampaikan profil media beserta surat dari pemimpin redaksinya. Mereka saya terima baik, tapi manajemen memutuskan tidak bekerja sama.
Beberapa minggu kemudian, telepon saya berbunyi. Dari seberang sana terdengar berita, “Karena Bapak tidak bekerja sama, maka artikel saya tayangkan!” Sepertinya mereka jengkel karena “ancaman” mereka sebelumnya tidak membuat saya takut.
Ilustrasi : Dokumentasi KEP II/2017 One Bell Park Mall Pondok Labu Jakarta
Agus Sudibyo dalam bukunya “Strategi Media Relations” (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) menulis beberapa tips dalam menghadapi wartawan abal-abal. Hal pertama yang harus dilakukan ketika kita menghadapi mereka adalah tidak takut atau tidak panik. Ketakutan atau kepanikan akan mendorong orang untuk bersikap ceroboh. Misalnya mengusir dengan kasar atau memberikan sejumlah uang.
Kedua, memahami Undang-undang Pers, Kode Etik Jurnalistik serta Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Polri. Dengan mengetahui ketentuan perundangan terkait komunikasi media, maka kita mengetahui hak dan kewajiban kita. Dengan demikian, kita dapat mengambil langkah yang tepat ketika suatu hal terjadi.
Ketiga, mengecek identitas wartawan dan keberadaan medianya. Merujuk pada Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik, bahwa wartawan Indonesia  menempuh cara-cara yang professional dalam menjalankan tugas jurnalistik. Pendek kata, hanya wartawan yang membawa kartu identitas jelas dan benarlah yang dilayani. Wartawan abal-abal biasanya berasal dari media abal-abal pula. Oleh karena itu mengenali asal media mereka juga tidak kalah penting.
Keempat, tidak melakukan intimidasi dan kekerasan. Sekeras apapun tekanan dari wartawan, nara sumber harus tetap tenang. Tidak boleh melakukan kekerasan fisik, nonfisik, perusakan peralatan liputan, menghalangi kerja wartawan dan sebagainya.
Kelima, tidak memberikan uang. Pemberian uang kepada wartawan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Apalagi wartawan abal-abal, jika dimanjakan maka akan menjadi kebiasaan yang tidak baik. Selain itu, jika diberikan kepada wartawan yang benar, dapat mengurangi profesionalisme dan independensi wartawan dalam menuliskan berita.
Keenam, melaporkan ke polisi. Jika wartawan abal-abal melakukan pemerasan terhadap nara sumber, maka tindakan tersebut merupakan tindakan kriminal. Yang diproses oleh polisi adalah tindak pemerasannya sebagai sebuah tindak pidana pada umumnya. Bukan tindakan jurnalistiknya. Pengaduan tersebut semestinya ditembuskan ke Dewan Pers sehingga mereka mengerti bahwa terdapat wartawan yang sedang dipermasalahkan secara hukum.
Ketujuh, bekerja sama dengan organisasi wartawan resmi. Saat ini ada tiga organisasi wartawan resmi yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (ITJI). Tiga asosiasi ini mempunyai komitmen sekaligus tanggung jawab untuk menegakkan profesionalisme wartawan dan etika pers. Dengan bekerja sama dengan mereka gangguan dari wartawan abal-abal dapat dihindari.
Kedelapan, tempuh hak jawab dan laporkan ke Dewan Pers jika diberitakan negatif. Jika wartawan tersebut tetap menayangkan berita negatif, maka nara sumber dapat menggunakan hak jawab atau hak koreksi. Hak jawab atau hak koreksi tersebut wajib ditayangkan oleh media yang bersangkutan. Jika tidak dilakukan maka dilaporkan kepada Dewan Pers.