Suatu siang, dua orang
pria dengan wajah yang kurang bersahabat datang menemui saya. Tangannya menenteng sebuah
tabloid yang namanya tidak begitu saya kenal. Maklum saja, tabloid itu tak
pernah saya lihat di lapak koran gang Sentiong, tempat saya biasa membeli koran
atau majalah.
Setelah basa-basi
sebentar, salah satu dari mereka menunjukkan sebuah halaman di tabloidnya.
Judul yang terpampang sangat menantang. “Pegadaian Gelapkan Uang Nasabah 400
Milyar!”. Tensi darah mulai naik.
Yang lebih menggoda
lagi, di akhir artikel tabloid itu memuat teks dalam kotak “Stop Press, Jangan
Menggadaikan di Pegadaian, Barang Ditukar!” Kepala bagian belakang mulai
tegang. Sadar reaksi kimia dalam tubuh mulai tidak stabil, ku raih gelas berisi
air putih di sudut meja.
Sejurus kemudian ku
dengar salah satunya berkata, “Kami datang untuk mengajak kerja sama. Agar di
edisi depan artikel di stop press tidak kami naikkan,” katanya.
“Lalu kerja sama
semacam apa yang Anda tawarkan?” saya mencoba tetap tenang.
“Silakan pasang iklan
di tabloid saya, maka semua dapat dikendalikan,” katanya. “Jika tidak, terpaksa
artikel kedua muncul di edisi berikutnya”.
Wah, ini tindak
percobaan pemerasan. Tentunya tidak dapat dibiarkan. Tetapi saya tidak
buru-buru melaporkan ke polisi. Khawatir urusan jadi tambah rumit dan
berkepanjangan.
Singkat cerita,
akhirnya saya minta mereka untuk mengajukan proposal iklan, tentunya dengan
menyampaikan profil media beserta surat dari pemimpin redaksinya. Mereka saya
terima baik, tapi manajemen memutuskan tidak bekerja sama.
Beberapa minggu
kemudian, telepon saya berbunyi. Dari seberang sana terdengar berita, “Karena
Bapak tidak bekerja sama, maka artikel saya tayangkan!” Sepertinya mereka jengkel
karena “ancaman” mereka sebelumnya tidak membuat saya takut.
Ilustrasi : Dokumentasi KEP II/2017 One Bell Park Mall Pondok Labu Jakarta |
Agus Sudibyo dalam
bukunya “Strategi Media Relations” (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) menulis beberapa tips dalam menghadapi
wartawan abal-abal. Hal pertama yang harus dilakukan ketika kita menghadapi
mereka adalah tidak takut atau tidak panik. Ketakutan atau kepanikan akan
mendorong orang untuk bersikap ceroboh. Misalnya mengusir dengan kasar atau
memberikan sejumlah uang.
Kedua, memahami
Undang-undang Pers, Kode Etik Jurnalistik serta Nota Kesepahaman Dewan Pers dan
Polri. Dengan mengetahui ketentuan perundangan terkait komunikasi media, maka
kita mengetahui hak dan kewajiban kita. Dengan demikian, kita dapat mengambil
langkah yang tepat ketika suatu hal terjadi.
Ketiga, mengecek
identitas wartawan dan keberadaan medianya. Merujuk pada Pasal 2 Kode Etik
Jurnalistik, bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam
menjalankan tugas jurnalistik. Pendek kata, hanya wartawan yang membawa kartu
identitas jelas dan benarlah yang dilayani. Wartawan abal-abal biasanya berasal
dari media abal-abal pula. Oleh karena itu mengenali asal media mereka juga
tidak kalah penting.
Keempat, tidak
melakukan intimidasi dan kekerasan. Sekeras apapun tekanan dari wartawan, nara
sumber harus tetap tenang. Tidak boleh melakukan kekerasan fisik, nonfisik,
perusakan peralatan liputan, menghalangi kerja wartawan dan sebagainya.
Kelima, tidak
memberikan uang. Pemberian uang kepada wartawan merupakan tindakan yang tidak
dibenarkan. Apalagi wartawan abal-abal, jika dimanjakan maka akan menjadi
kebiasaan yang tidak baik. Selain itu, jika diberikan kepada wartawan yang
benar, dapat mengurangi profesionalisme dan independensi wartawan dalam
menuliskan berita.
Keenam, melaporkan ke
polisi. Jika wartawan abal-abal melakukan pemerasan terhadap nara sumber, maka
tindakan tersebut merupakan tindakan kriminal. Yang diproses oleh polisi adalah
tindak pemerasannya sebagai sebuah tindak pidana pada umumnya. Bukan tindakan
jurnalistiknya. Pengaduan tersebut semestinya ditembuskan ke Dewan Pers
sehingga mereka mengerti bahwa terdapat wartawan yang sedang dipermasalahkan
secara hukum.
Ketujuh, bekerja sama
dengan organisasi wartawan resmi. Saat ini ada tiga organisasi wartawan resmi
yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (ITJI). Tiga asosiasi ini mempunyai
komitmen sekaligus tanggung jawab untuk menegakkan profesionalisme wartawan dan
etika pers. Dengan bekerja sama dengan mereka gangguan dari wartawan abal-abal
dapat dihindari.
Kedelapan, tempuh hak
jawab dan laporkan ke Dewan Pers jika diberitakan negatif. Jika wartawan
tersebut tetap menayangkan berita negatif, maka nara sumber dapat menggunakan
hak jawab atau hak koreksi. Hak jawab atau hak koreksi tersebut wajib
ditayangkan oleh media yang bersangkutan. Jika tidak dilakukan maka dilaporkan
kepada Dewan Pers.